“Widih,
si bisu sebangku sama si arogan. Cocok banget Cha!” Sendy mengejek.
“Ini
gagu terlalu berani, apa emang gak ada bangku kosong lagi ya Sen?” Akicha
tambah mengejek.
“Eh,
entar dulu Cha, dia kan gagu. Emang dia ngerti kita ngomong apa?” Sendy
tertawa.
“Dia
punya nama, Cindy.” Ayana menjawab dengan cuek.
“Ow,
sampingnya gagu bisa ngomong juga ternyata!” Akicha membalas sinis.
“Udah
kenalan Ay?” Sendy kembali tertawa.
Suasana
kelas siang itu tegang banget. Cindy menyodorkan tulisan di kertas ke Ayana.
“Mereka kenapa lihatin aku terus Ay?”
Ayana
tetep cuek, gak merespon.
“Mereka
benci sama aku?”
“Iya.”
“Aku
takut, wajah mereka serem.”
“Manja.”
“Ayo
ke kantin aja Ay.”
“Gak
ada uang.”
“Aku
yang traktir.” Cindy menarik Ayana memaksa ke kantin. Nyampek di kantin, Cindy
dan Ayana kembali ngobrol dengan tulisan.
“Makasih
traktirannya, lain kali gak usah.”
“Loh
kenapa Ay? Kamu kan baik.”
“Kamu
ngapain pindah sekolah disini? Sebangku sama aku lagi, ngrepotin banget.”
“Aku
kesini karena aku pinter, cuma bangku disebelah kamu yang kosong Ay.”
“PD
banget kamu ngrasa pinter, dasar anak orang kaya. Sepinter-pinternya kamu, ini
sekolahan bukan tempat kamu.”
Di
tengah-tengah percakapan mereka, Sendy dan Akicha duduk di sebelah Cindy dan
Ayana. Akicha mengambil kertas perbincangan Cindy dan Ayana, lalu membacanya
bersama Sendy.
“Kayaknya
Ayana mulai marah Sen.” Akicha membuat panas suasana.
“Hati-hati
Cin, kamu bisa dimakan sama Ayana.” Sendy menulisnya di kertas itu sekaligus
membacakannya. Ayana yang tersinggung langsung meninggalkan kantin, dan Cindy
menyusul Ayana karena takut dengan Sendy dan Akicha.
* * *
Hari
ini Ayana latihan di ruang music untuk acara perpisahan kakak kelas 3. Ayana
gak tau kalau Cindy nungguin dia di depan ruang music. Melihat dan mendengar
Ayana memainkan biola sangat merdu, Cindy semakin kagum sama Ayana. Dibalik
sikapnya yang cuek, Ayana gak cuma baik tapi juga punya perasaan yang sangat
lembut.
Selesai
latihan, Ayana terkejut melihat Cindy di depan ruang music. Ayana menulis di
buku yang dibawa Cindy. “Kamu ngapain disini?”
“Nungguin
kamu Ay.”
“Sejak
pulang sekolah?”
“Iya,
aku takut sama Akicha sama Sendy juga.”
“Udah
tau, tapi kamu kan dijemput kayak biasanya. Kenapa masih nungguin aku?”
“Tetep
takut Mi.”
“Manja.”
Sendy
dan Akicha makin sebel lihat Cindy ikut Ayana ke parkiran sepeda, dan dibonceng
Ayana sampek ke gerbang depan sekolah.
* * *
Pulang
sekolah kali ini, Ayana terlihat sendirian tanpa Cindy mengikutinya.
“Dek,
kamu temenya Cindy kan?” Seseorang memanggil Ayana.
“Iya,
bapak sopirnya Cindy?” Ayana mengenalnya.
“Iya
dek, Cindy nya mana? Biasanya keluar sama kamu.” sopirnya Cindy kembali
bertanya.
“Tadi
masih dikelas pak.” Ayana menjawab ringan.
“Sebentar
pak, saya susul Cindy dulu ya.” Ayana meletakkan sepeda dan bergegas kembali ke
kelas karena perasaannya gak enak.
Dugaan
Ayana benar, nyampek di kelas Ayana segera memeluk Cindy yang nangis dari tadi
dimarahin sama Sendy dan Akicha.
“Kalian
boleh benci sama aku, tapi jangan bawa-bawa Cindy. Cindy salah apa sama
kalian?” Ayana benar-benar marah.
“Banyak
Ay, dia dianak emaskan sama semua guru, dia manja banget, sok pinter, lebay!”
Akicha juga marah.
“Bukannya
kamu juga benci sama dia yang ngrepotin? Terus kenapa sekarang kamu sok belain
Cindy?” Sendy marah besar.
“Gara-gara
Cindy terus-terusan nyontekin kamu dan dia sering nraktir kamu?” Akicha lebih
mengeraskan suaranya.
“Atau
karena Cindy mirip, , ,” kata-kata Sendy terputus.
“Cukup
Sen, Cha!” Ayana yang gak bisa jawab semua pertanyaan Sendy dan Akicha langsung
membawa Cindy keluar dari kelas.
* * *
Nyampek
di gerbang sekolah, Ayana melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Cindy.
Ayana berbicara dengan Cindy menggunakan bahasa isyarat. “Cindy, udah ya
nangisnya.”
“Kamu
bisa bahasa isyarat Ay?”
“Iya,
Akicha sama Sendy itu gak benci sama kamu, tapi bencinya sama aku Cin. Jadi,
jangan temenan sama aku lagi ya.”
“Tapi
kenapa Ay?”
“Aku
gak bisa cerita sama kamu Cin. Aku pulang duluan ya, udah mau sore.”
“Aku
maunya temenan sama kamu Ay.”
“Manja.” Ayana tersenyum dan mengayuh sepedanya. Ayana
gak tau kalau Cindy mengikutinya sampek di sebuah sekolah. Cindy turun dari
mobil dan nyamperin Ayana yang memarkirkan sepedanya.
“Ayana.”
“Lancang
banget kamu ngikutin aku!”
“Maaf
Ay, tapi ngapain kamu disini?”
Di tengah
perbincangan mereka, terdengar seorang guru dari sekolah itu menegur Ayana.
“Ay, kok ngobrol disitu? Temennya diajak masuk gih.”
Dengan acuhnya
Ayana masuk ke dalam sekolah itu sendirian.
* * *
Bu Rica, guru
yang menegur tadi mengajak Cindy keliling sekolah itu, sekolah dimana anak-anak
bisu belajar. Bu Rica cerita kalau Ayana di sekolah itu sebagai salah 1 guru
music. Ayana gak minta bayaran, asalkan Delima adek Ayana bisa sekolah disitu.
Sejak orang tuanya gak pernah pulang karena malu punya anak bisu seperti
Delima, dan sejak kedua sahabat Ayana juga gak bisa menerima Delima sebagai
adek Ayana, sejak itu sikap Ayana berubah menjadi cuek. Tapi Naomi sayang banget
sama Delima, mereka cuma tinggal berdua. Bu Rica juga menunjukkan betapa
telatennya Ayana mengajari anak-anak bermain biola, tapi Delima diajari guru
lain karena Delima suka main piano.
Keluar dari
sekolah itu, Ayana kaget melihat mobil Cindy masih ada.
“Udah selesai
ngajarnya bu guru?” Cindy meledek Ayana.
“Kenapa masih
disini?” Ayana kembali cuek.
“Kedua sahabatmu
yang dimaksut Bu Rica itu Sendy sama Akicha?” Cindy penasaran.
“Bu Rica cerita
apa aja sama kamu?” Ayana curiga.
“Semuanya.”
Cindy tersenyum.
“Kakak, kenapa
kakak ini gak diajak main kerumah?” Delima yang dari tadi hanya diam dipelukan
Ayana, sekarang merengek.
“Adek, namanya
Delima ya? Kenalin nama kakak Cindy.” Cindy mengenalkan diri.
“Sayang, , ,
kalau kak Cindy main kerumah, pasti Delima boboknya malem.” Ayana memanjakan
adeknya.
“Boleh ya kak,
biar Delima ada temennya main piano dirumah.” Delima makin merengek.
“Delima main
pianonya jago banget ya? Kak Cindy mau dong diajarin dek.” Cindy menbujuk
Delima.
“Aku janji gak
sampek malem mainnya sama Delima Ay. Pulangnya naik mobilku aja, biar sepedanya
ditaruh di bagasi.” Cindy ijin ke Ayana.
“Manja.” Ayana
tertawa dan mengusap-usap rambut Delima. Cindy inget, itu kata-kata yang selalu
diucapkan Ayana.
* * *
“Cin, kenapa
kamu baik banget sama aku?”
“Karena kamu
jauh lebih baik Ay.”
“Baru kamu Cin
yang bilang aku baik selain guru-guru di sekolah adekku.”
“Emang
sebenernya kamu baik Ay, aku gak mungkin sanggup kalau ada di posisimu.”
“Aku sendiri gak
sanggup Cin, hidup ini terlalu kejam, Cuma Tuhan yang adil.”
“Bukan berarti
semua orang jahat kan Ay?”
“Orang-orang
yang aku percaya aja udah nyakitin adekku, gimana aku gak marah sama mereka
Cin?”
“Maksutnya orang
tuamu sama Sendy dan Akicha? Ay, temen-temen di team music ini juga orang yang
kamu percaya. Kalau kamu gak sehati sama mereka, music ini gak mungkin seindah
sekarang, dan aku bisa jadi bagian dari team music ini berkat Delima juga.”
“Tumben kamu gak
manja Cin?”
“Sahabat itu ada
Ay, aku dan temen-temen di team music ini adalah sahabat yang gak pernah kamu
sadari.”
“Udah ah Cin,
ceramar mulu kayak bu guru. Ayo siap-siap.”
Hari ini acara
perpisahan kakak kelas 3, sejak kejadian saat itu Cindy dan Ayana bersahabat.
---- End ----
Bantu Admin ya buat share fanfict ini melalui g+ , Facebook, ataupun Twitter jadi mohon kerjasamanya ya
by @cinguk48
0 komentar:
Posting Komentar